PENINGKATAN PARTISIPASI PEMILIH DALAM PILKADA TAHUN 2018
Pendahuluan
Perlu
ada strategi untuk meningkatkan partipasi masyarakat, Tentu ini merupakan
tantangan buat KPU termasuk pemerintah dalam menyelenggara Pemilu dan Pilkada
kedepan" dalam sosialisasi Strategi Peningkatan Partisipasi Masyarakat
Menyongsong Pemilihan Walikota dan wakil Walikota serta Pemilihan Gubernur dan
Wakil Gubernur 2018 . pemerintah juga meminta parpol untuk berperan serta ikut
mendorong lahirnya pemilih cerdas, salah satunya dengan menghadirkan calon yang
kredibel, mampu membawa dan mewujudkan ekspektasi masyarakat. Artinya proses
pendidikan pemilih bukan sekedar tugas KPU semata, melainkan secara konstitusi
tugas pendidikan pemilih bagi masyarakat juga melekat di masing–masing partai
politik.
"Partai
politik jangan hanya datang menjelang pemilu atau menjelang pilkada saja,
tetapi setiap saat ditengah masyarakat dan harus berlangsung secara
berkesinambungan,"
"Kalau
berbicara strategi, tentu berbicara tentang seni dan inovasi meyakinkan
pemilih. Karenanya, beberapa di antara strategi yang patut diupayakan bersama
antara lain memanfaatkan media baik media cetak, media elektonik maupun media
sosial untuk mensosialisasikan Pilkada 2018".
Lebih
lanjut ia berharap agar Sosialiasi tatap muka yang sedang digalakkan KPU Kota
Makassar kepada kelompok atau komunitas harus terus ditingkatkan. Masyarakat
masih menaruh harapan besar kepada KPU dan pemerintah yang akan menjadi daya
tarik untuk meningkatkan partisipasi pemilih di tahun 2018. Di tahun 2018,
aroma kompetisi sudah mulai terasa, beberapa parpol dan aktor politik sudah
mulai bermanuver melakukan apa yang disebut sebagai "testing the
water" yaitu uji reaksi publik
,hal
itu termasuk bagian dari kegiatan sosialisasi politik, yaitu upaya menyebarluaskan
informasi politik dalam kerangka membangun kesadaran partisipatif pemilih.
Kegiatan sosialisasi politik adalah suatu keniscayaan dalam pilkada terutama
untuk pemilih rentan seperti pemilih pemula, swing voters, pemilih usia lanjut,
dan mereka yang kurang akses informasi yang berpotensi golput. Semakin sering
dan masif sosialisasi politik,
1. PEMBENTUKAN SATGAS
Pembentukan
satgas sosialisasi ini bertujuan meningkatkan partisipasi elektoral, oleh sebab
itu, KPU menargetkan tingkat partisipasi pemilih dalam Pilkada Serentak 2018
meningkat atau secara rasionalnya dapat mencapai 85 persen," terangnya.
Secara
spesifik, tugas satgas sosialisasi itu antara lain, menyampaikan pentingnya
partisipasi elektoral pemilih pada pemilihan Walikota dan wakil walikota serta
Gubernur dan wakil gubernur tahun 2018, materi pemutakhiran data pemilih,
materi dampak negatif hoaks atau kabar bohong, isu sara dalam pilkada, serta
materi bahaya perilaku golput, dan money politics.
2. MENGURAI PENYEBAB KURANGNYA
PARTISIPASI PEMILIH
1.
persoalan penyelenggara pemilu. Saat itu kampanye pilkada di-handle oleh KPU.
Sesuai UU No 8/2015 tentang Pilkada, bahwa kampanye pilkada diatur oleh KPU.
Sehingga masing-masing calon kepala daerah terbatas ruang geraknya untuk
menyosialisasikan program-programnya. Hal ini berakibat tidak meriahnya pilkada
sehingga kurang mendapatkan perhatian dari masyarakat.
Namun
sesungguhnya ada faktor lain yakni kurangnya kreativitas penyelenggara pemilu
dalam sosialisasi pilkada. Fakta yang ada, selama ini sosialisasi dilakukan
hanya sebatas ‘menumpang’ kegiatan-kegiatan lain seperti konferensi kepala Kelurahan,
pengajian warga dan sejenisnya. Terlebih materi sosialisasi hanya sebatas
teknis tentang bagaimana mencoblos dengan benar, dan belum menyentuh muatan
pendidikan politik yang bertujuan untuk meningkatkan partisipasi pemilih.
2.
persoalan kandidat kepala daerah. Calon
kepala daerah banyak yang kurang paham terhadap isu lokal. Padahal isu-isu
lokal sedikit-banyak berpengaruh terhadap partisipasi pemilih. Bahkan isu-isu
lokal bisa menjadi daya tarik bagi pemilih.
3.
persoalan yang terkait masyarakat.
Adanya event pilkada justru membuat sebagian masyarakat apatis. Sikap apatisme
dan kekecewaan itu terjadi karena perilaku politisi. Penumpukan kekecewaan
melahirkan sikap frustrasi dan antipati.
3.GOLONGAN GOLPUT
Pada
pemilih yang tidak memberikan suaranya (kemudian disebut “golput”), terdapat
beberapa jenis, yakni:
1.
“golput” ideologis atau politis, yakni
mereka yang dengan sengaja memilih untuk tidak memilih dengan alasan tidak ada
gunanya ikut pemilu. Golongan ini menganggap pemilu tidak penting, dan urusan
politik kenegaraan juga tidak penting karena dianggap penuh tipu-tipu dan
koruptif. Golongan ini cenderung membenci politik, politikus dan hal-hal yang
berhubungan dengan politik dan pemilu. Perilaku golput jenis ini dapat juga
dipicu oleh ketidakpercayaan (distrust) terhadap lembaga-lembaga penyelenggara
negara. Golongan ini biasanya berada pada golongan menengah ke atas dan kaum
intelektual.
2.
“golput” teknis yakni mereka yang golput
karena faktor dan kendala teknis seperti tidak dapat menjangkau TPS, bepergian,
malas berangkat, dan tidak terdaftar di DPT (Daftar Pemilih Tetap). Pada golput
jenis pertama, sulit untuk dipengaruhi. Treatment pada golput jenis ini
memerlukan waktu yang lama dan edukasi yang kompleks. Pada golput jenis kedua,
lebih mudah. Namun, disamping treatment jangka pendek untuk sekedar “mengembalikan para “golputers” ini
kembali ke jalan pemilu” diperlukan strategi berjangka panjang untuk –secara
lebih permanen- memberikan pendidikan pemilih agar pemilih lebih termotivasi
untuk ikut pemilu atau, meningkatkan partisipasi pemilih.
4. STRATEGI MENINGKATKAN PARTISIPASI
PEMILIH
Upaya
meningkatkan partisipasi pemilih, secara operasional dapat ditelusuri dari
beberapa kondisi di sekitar “golput” dan memadukannya untuk mencari titik temu
secara operasional,
yaitu:
Kondisi
yang menjadi masalah / penyebab kurangnya atau rendahnya partisipasi pemilih.
Lini
partisipasi pada segmentasi pemilih rentan : pemilih pemula, swing voters,
pemilih usia lanjut, mereka yang kurang akses informasi, kaum “golput”.
Stakeholders
aktif, yakni “siapa yang berkepentingan dengan partisipasi pemilih”.
Ketiga
variabel di atas perlu ditelusuri sambil mengenali secara tepat:
a.
Karakter pemilih.
b.
Nilai-nilai budaya lokal.
c.
Mendekatkan pemilih pada isu kemanfaatan pemilu.
Ketiganya
dimaksudkan agar terbentuk konstruksi berpikir pada masyarakat bahwa
pemeranannya dengan ikut pemilu secara aktif (sebagai pemilih) adalah memang
kepentingan dan kebutuhannya (bukan sekedar hak atau wajib).
Implikasi
pendekatan ini adalah bahwa isu politik adalah urusan rakyat, dan menu politik
adalah menu sarapan pagi bersama kopi hangat. Bagaimana mengoperasikan gagasan
ini?
Pertama,
mencari penyebab kurang/ rendahnya partisipasi, beberapa faktor di sekitar
rendahnya apresiasi terhadap pemilu yang kemudian merembes kepada menjauhnya
dari urusan pemilu, adalah, pragmatisme masyarakat yang kemudian mengukur
aktivitas pemilu dan aktivitas elektoral
peserta pemilu dari sudut pandang kepentingan mereka (yang kerap bernilai
pragmatis).
Kedua,
bertolak dari rendahnya apresiasi terhadap pemilu. Ini adalah persepsi negatif
pemilih terhadap “apa dan siapa yang akan dipilih”.
Ketiga,
mendekatkan jarak politik dan ikatan sosial pemilih dengan peserta pemilu.
Faktor informasi (misalnya kelangkaan informasi tentang pemilu) tidak serta
merta menjauhkan masyarakat dari keputusannya untuk ikut pemilu, namun berada
pada dataran pemahaman materi pemilu saja. Dari sisi partisipasi pemilu, tidak
mengkhawatirkan, justru dari sisi kepentingan peserta pemilu yang
mengkhawatirkan, karena kelangkaan informasi pemilu bisa membiaskan pemilih
seperti salah pilih dsb.
Ketiga
point di atas sekaligus bisa mengikis persepsi publik terhadap isu pemilu
(bagian dari isu politik), bahwa urusan pemilu yang dipersepsi sebagai urusan
elit (bukan urusan rakyat) menjadi bagian dari kehidupan rakyat. Sayangnya, isu
politik masih dianggap “horor”, sulit, tidak terjangkau, tingkat tinggi, penuh
tipu-tipu. Dan itu urusan elit. Nah. Mengubah persepsi ini yang semestinya
menjadi isu utama pendidikan politik dan pendidikan pemilih.
Jika
rakyat merasa urusannya terpenuhi dengan aktivitas kepemiluan, maka merasa
dekat dengan pemilu dan bersedia ikut pemilu. Pada kondisi ini, treatment yang
dapat dilakukan adalah mendekatkan isu pemilu menjadi dekat dengan urusan dan
kepentingan rakyat.
Dilain
sisi kandidat kepala daerah perlu meramu formula materi kampanye dengan
memahami dan ‘menjual’ isu lokal sebagai bentuk program yang ditawarkan.,
masyarakat harus aktif mengakses informasi yang berkaitan dengan pilkada
terutama menyangkut visi-misi calon kepala daerah di daerah masing-masing.
Sikap apatisme harus dikikis habis. Sangat penting tokoh masyarakat
(kiai,Lurah,RT,RW,majelis taklim,paguyuban) juga terlibat dalam menaikkan
partisipasi pemilih dengan melakukan pendekatan persuasif terhadap masyarakat
disekitarnya untuk berpartisipasi dalam pilkada.
Pilkada
merupakan proses pembelajaran masyarakat. Melalui pilkada inilah rakyat
diajarkan untuk mandiri dan bertanggung jawab memilih pemimpin untuk
menjalankan pemerintahan nantinya. Disinilah partisipasi masyarakat menjadi
suatu hal yang urgen.
"Ada
5 hal yang harus dilakukan untuk meningkatkan partisipasi pemilih cerdas dan
rasional yaitu:
1.
pemetaan daerah rawan/minim partisipan;
2.
mengklasifikasikan pemilih berdasar usia;
3.
pemetaan kelompok/grup sosial- lembaga pendidikan;
4. melaksanakan kerjasama sosialisasi dan
pendidikan politik;
5.membangkitkan
kesadaran kolektif",
Kesimpulan
Partisipasi
pemilih terkait dengan motivasi sosial dan ideologis pemilih berpadu dengan
pilihan rasional dan kepentingan pemilih serta persepsi kedekatan anasir
elektoral pada kepentingan pemilih. Strategi peningkatan partisipasi pemilih
masyarakat terletak pada upaya merekonstruksi atau bahkan mendekonstruksi
persepsi kepentingan anasir elektoral agar tidak hanya berputar di wilayah elit
dan “jauh dari jangkauan masyarakat”, tetapi berada di wilayah masyarakat,
sehingga isu politik tidak lagi dipersepsi sebagai “urusan elit” “mereka”,
tetapi urusan rakyat. Jika rakyat merasa urusannya terpenuhi dengan aktivitas
kepemiluan, maka merasa dekat dengan pemilu dan bersedia ikut pemilu. Pada
kondisi ini, treatment yang dapat dilakukan adalah mendekatkan isu pemilu
menjadi dekat dengan urusan dan kepentingan rakyat.
Daftar Pustaka
Deth,
Jan W. Van. 2008. Political Participation, dalam “Lynda Lee Kaid dan Kristina
Holtz-Bacha, Encyclopaedia of Political Communication, Sage Publication.
Samuel
P. Huntington dan Joan Nelson. 2008. Partisipasi Politik di Negara Berkembang,
Rineka Cipta, Jakarta.
Kuswandoro,
Wawan E. 2013. Motivasi dan Perilaku Pemilih pada Pemilukada: Pengalaman Kota
Malang dan Kota Probolinggo pada Pemilukada 2013, artikel.
—————————————.
Kuswandoro, Wawan E. 2013. Perilaku Pemilih Pedesaan dan Modal Sosial Politik
Elektoral Non-Partai Politik pada Pemilu Legislatif 2014.
Surbakti,
Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik, PT. Grasindo, Jakarta.
(Allan
Fatchan Gani Wardhana SH MH. Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK)
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Artikel ini dimuat Surat Kabar
Harian Kedaulatan Rakyat, Rabu 26 Oktober 2016)
Comments
Post a Comment